13 June 2022
International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global dari 5,9% pada 2021 menjadi 4,4% pada 2022 sebagai konsekuensi risiko efek pandemi yang berkelanjutan serta disrupsi pada rantai pasok global yang menyebabkan gangguan pada ekonomi secara massif.
Terlebih kebijakan tapering yang diekspektasikan akan terjadi lebih awal karena oleh inflasi pada ekonomi secara luas, akan mengakibatkan tekanan dan volatilitas pada kondisi ekonomi secara lokal di mana salah satunya industri baja.
Ada beberapa faktor terciptanya peluang yang akan mempengaruhi harga baja sepanjang 2022.
Pertama, inisiasi pertumbuhan hijau berkelanjutan pemerintah China berdampak pada kontrol produksi dan emisi karbon. Hal ini mengakibatkan tekanan pada industri baja dan keluaran baja yang turun 3% pada 2021. China memproduksi 1 miliar ton baja per tahun atau lebih dari setengah produksi baja global. Penurunan ekspor baja China adalah peluang bagi pabrikan di Indonesia.
Kedua, Ambisi besar pembangunan infrastruktur sesuai Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024. Ini membutuhkan belanja sebesar Rp6.445 triliun atau sekitar 6,2% dari PDB. Pembiayaan ini tidak sepenuhnya ditopang pemerintah, namun juga akan didukung oleh skema pembiayaan inovatif seperti Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), blended finance, dan green finance.
Ketiga, konsumsi baja Indonesia yang masih rendah. Mengutip informasi dari World Steel Association 2020, pasar domestik Indonesia hanya menyerap 55 kg baja per kapita setiap tahunnya, jauh di bawah rata-rata konsumsi tahunan global sebesar 227 kg per kapita. Malaysia dan Thailand mencatatkan konsumsi baja 210 kg dan 233 kg per kapita secara berturut turut.
Keempat, komitmen pada penggunaan produk dalam negeri, termasuk baja lokal untuk proyek-proyek infrastruktur nasional. Jurusnya adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) produk baja dan pengoptimalan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
Secara teknis, SNI merupakan instrumen yang cukup baik untuk membendung impor khususnya produk hilir. Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), maupun Safeguard dari produk baja impor juga sangat membantu industri baja dalam negeri. Nilai impor baja cenderung menurun, 8,4 juta ton pada 2019 menjadi 5,6 juta ton pada 2020.
Dikutip dari: Bisnis Indonesia, Senin, 13 Juni 2022